Sunday, March 27, 2016

Tugas Kuliah : Perkembangan Pemerintahan Desa di Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Sejak jatuhnya rezim orde baru dan beralih ke reformasi azas penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia sedikit demi sedikit mengarah kearah desentralisasi. Walaupun sebenarnya pada masa orde baru penyelenggaraan pemerintahannya adalah desentralisasi namun dalam prakteknya menganut sentralisasi karena semua urusan tergantung pada pusat.
Dengan diselenggarakannya azas desentralisasi maka hak otonom pun diberikan kepada daerah untuk dapat mengurus rumah tangganya sendiri. Termasuk didalamnya desa yang juga mempunyai hak yang sama dengan daerah tingkat I dan II yaitu hak otonom. Otonomi desa dimaksudkan agar desa bisa mengatur rumah tangganya berdasarkan hak asal-uslnya dan sesuai dengan daerahnya untuk memajukan desa tersebut.
Istilah desa pertama kali ditemukan oleh Mr. Herman Warner Muntinghe tahun 1817,  seorang Belanda anggota dari Raad Van Indie pada masa penjajahan kolonial Inggris  dan merupan pembantu Gubernur Jendral Inggris yang berkuasa pada tahun 1811. Kata desa sendiri berasal dari Bahasa India yaitu ‘’swadesi’’ yang berarti tempat asal, tempat tinggal, negeri asal, atau taah leluhur yang merujuk pada satu kesatuan hidup, dengan satu kesatuan norma, serta memiliki batas yang jelas. Melihat kenyataan ini desa sudah ada sejak NKRI ini belum terbentuk, namun setelah merdeka hak asli desa seolah dirampas menjadi milik negara yang pada awalnya diatur sendiri kemudian pasca kemerdekaan tepatnya pada masa orde baru diatur oleh negara.
Dengan dikembalikannya hak otonomi  desa  dalam penyelenggaraan pemerintahannya, bisa dengan leluasa  mengendalikan daerahnya, memberdayakan potensi daerahnya untuk kesejahteraan masyarakatnya. Apalagi di masa ini ketika desa semakin diistimewakan dengan lahirnya UU No. 6 Tahun 2014, maka tidak ada alasan bagi desa harus menggantungkan nasibnya kepada daerah yang ada diatasnya (kabupaten).
1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka yang akan dibahas dalam makalah ini adalah mengenai perkembangan pemerintahan desa di Indonesia.
1.3  Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui perkembangan pemerintahan desa di Indonesia.









BAB II
STUDI PUSTAKA

2.1  Otonomi Desa
Soetarjo Kartohadikusumo di dalam buku yang berjudul “Desa”, mengemukakan bahwa dari segi perbendaharaan sejarah kata atau etimologi, kata Desa berasal dari bahasa sansekerta yaitu berasal dari kata Deshi yang artinya “Tanah Kelahiran” atau “Tanah Tumpah Darah”. Selanjutnya dari kata Deshi itu terbentuk kata Desa.
Desa adalah sebagai tempat tinggal kelompok atau sebagai masyarakat hukum dan wilayah daerah kesatuan administratif, wujud sebagai kediaman beserta tanah pertanian, daerah perikanan, tanah sawah, tanah pangonan, hutan blukar, dapat juga wilayah yang berlokasi ditepi lautan/danau/sungai/irigasi/ pegunugan, yang keseluruhannya merupakan wilayah-wilayah yang dikuasai oleh Hak Ulayat Masyarakat Desa.
Desa menurut Prof. Drs. HAW. Widjaja dalam bukunya “Otonomi Desa” menyatakan bahwa: “Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak asal usul yang bersifat istimewa, landasan pemikiran dalam mengenai Desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat”.
Desa dibentuk atas prakarsa masyarakat dengan memerhatikan asal usul desa dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Pembentukan desa dapat berupa penggabungan beberapa desa, atau bagian desa yang bersandingan, atau pemekaran dari satu desa menjadi dua desa atau lebih, atau pembentukan desa di luar desa yang telah ada. Desa dapat diubah atau disesuaikan statusnya menjadi kelurahan berdasarkan prakarsa pemerintah desa bersama BPD dengan memerhatikan saran dan pendapat masyarakat setempat. Desa yang berubah menjadi kelurahan, lurah dan perangkatnya diisi dari pegawai negeri sipil dan kekayaannya menjadi kekayaan daerah dan dikelola oleh kelurahan yang bersangkutan untuk kepentingan masyarakat setempat.
Lebih lanjut Widjaja, menyatakan bahwa otonomi desa merupakan otonomi asli, bulat, dan utuh serta bukan merupakan pemberian dari pemerintah. Sebaliknya pemerintah berkewajiban menghormati otonomi asli yang dimiliki oleh desa tersebut. Sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak istimewa, desa dapat melakukan perbuatan hukum baik hukum publik maupun hukum perdata, memiliki kekayaan, harta benda serta dapat dituntut dan menuntut di muka pengadilan.
Bagi desa, otonomi yang dimiliki berbeda dengan otonomi yang dimiliki oleh daerah propinsi maupun daerah kabupaten dan daerah kota. Otonomi yang dimiliki oleh desa adalah berdasarkan asal-usul dan adat istiadatnya, bukan berdasarkan penyerahan wewenang dari Pemerintah. Desa atau nama lainnya, yang selanjutnya disebut desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten. Landasan pemikiran yang perlu dikembangkan saat ini adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokrasi, dan pemberdayaan masyarakat.
Pengakuan otonomi di desa, Taliziduhu Ndraha (1997:12) menjelaskan sebagai berikut :
a)      Otonomi desa diklasifikasikan, diakui, dipenuhi, dipercaya dan dilindungi oleh pemerintah, sehingga ketergantungan masyarakat desa kepada “kemurahan hati” pemerintah dapat semakin berkurang.
b)      Posisi dan peran pemerintahan desa dipulihkan, dikembalikan seperti sediakala atau dikembangkan sehingga mampu mengantisipasi masa depan.
Namun harus selalu diingat bahwa tiada hak tanpa kewajiban, tiada kewenangan tanpa tanggungjawab dan tiada kebebasan tanpa batas. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan hak, kewenangan dan kebebasan dalam penyelenggaraan otonomi desa harus tetap menjunjung nilai-nilai tanggungjawab terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan menekankan bahwa desa adalah bagian yang tidak terpisahkan dari bangsa dan negara Indonesia. Pelaksanaan hak, wewenang dan kebebasan otonomi desa menuntut tanggungjawab untuk memelihara integritas, persatuan dan kesatuan bangsa dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tanggungjawab untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang dilaksanakan dalam koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2.2  Pemerintahan Desa
Pemerintahan Desa merupakan bagian dari Pemerintahan Nasional yang penyelenggaraannya ditujukan pada pedesaan. Sebelum lahirnya Undang-Undang No 22 Tahun 2009 tentang Pemerintah Daerah berlaku kebijakan Pemerintah Desa dengan Undang-Undang Pemerintah Desa No. 5 tahun 1979 yang menyatakan bahwa desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat huklum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Rumusan tersebut memuat konsep hak untuk menyelenggarakan rumah tangganya sendiri, namun jugs disebutkan bahwa desa merupakan organisasi pemerintahan terendah di bawah camat.
UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah menempatkan desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang berhak dan berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan hak asal-usul desanya. UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dipandang terlalu liberal dan federalistik, sehingga dikhawatirkan dapat mengancam keutuhan NKRI.
Pembagian kewenangan terlalu mutlak pada daerah membuat perimbangan kekuasaan antara pusat dan daerah tidak proporsional, sehingga kontrol pusat dan provinsi terhadap daerah hilang. Dihawatirkan UU ini rentan melahirkan konflik dan masalah di tengah masyarakat. Karena berbagi kelemahan tersebut, maka UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah diganti dengan berlakunya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
2.3 Susunan Organisasi Pemerintahan Desa
2.3.1 Kepala Desa
Kepala desa merupakan kepala pemerintahan di tingkat Desa .Kepala desa dipilih langsung oleh penduduk desa yang bersangkutan dan dilantik oleh bupati dan pejebat lain yang ditunjuk. Kepala desa bertugas menyelenggarakan :
·       Pemerintahan Desa
·       melaksanakan Pembangunan Desa
·       pembinaan kemasyarakatan Desa
·       pemberdayaan masyarakat Desa.

Kepala Desa berwenang untuk :
·  memimpin penyelenggaraan Pemerintahan Desa;
·  mengangkat dan memberhentikan perangkat Desa;
·  memegang kekuasaan pengelolaan Keuangan dan Aset Desa;
·  menetapkan Peraturan Desa;
·  menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa;
·  membina kehidupan masyarakat Desa;
·  membina ketenteraman dan ketertiban masyarakat Desa;

2.3.2 Perangkat Desa
Perangkat desa adalah aparat pembantu pemerintahan desa. Perangkat desa terdiri atas skretaris desa dan kepala dusun. Sekretaris desa adalah unsure staf yang membantu kades dalam menjalankan hak, wewenang dan kewajiban pimpinan pemerintahan desa. Kepala dusun adalah unsure pelaksana tugas kepala desa dengan wilayah kerja tertentu dalam lingkungan suatu desa.
Menurut ketetuan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, perangkat desa terdiri dari; sekretariat desa, pelaksana kewilayahan dan pelaksanateknis.
Perangkat desa mempunyai tugas, seperti yang tertera dalam undang-udang nomor6 tahun 2014 tentang desa Pasal 49 yaitu:
(1) Perangkat Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 bertugasmembantu Kepala Desa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.
(2) Perangkat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat oleh KepalaDesa setelah dikonsultasikan dengan Camat atas nama Bupati/Walikota.
(3) Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, perangkat Desasebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab kepada KepalaDesa.


2.3.3   Badan Permusyawaratan Desa (BPD)
Badan Permusyawaratan desa yang selanjutnya disebut BPD adalah lembaga yang merupakan perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Desa. BPD berfungsi untuk menetapkan Peraturan Desa bersama kepala Desa, dan menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Anggota BPD adalah wakil dari penduduk Desa bersangkutan berdasarkan keterwakilan wilayah yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat. Masa jabatan anggota BPD adalah 6 tahun dan dapat diangkat/diusulkan kembali untuk I (satu) kali masa jabatan berikutnya, pimpinan dan anggota BPD tidak diperbolehkan merangkap sebagai kepala desa dan perangkatnya.

  

BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Sejarah Perkembangan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa di Indonesia
3.1.1 Pada Masa Penjajahan Belanda
Pada masa penjajahan Beland,  pemerintah kolonial Hindia Belanda menghormati dan mengakui serta “mempersilahkan” Adat dan Hukum Adat berlaku dan dapat digunakan sebagai landasan hukum bagi berbagai kegiatan Hukum “Golongan Pribumi” dan sebagai hukum dasar bagi desa-desa, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan politik dan sistem kolonialisme. Peraturan perundang-undangan yang cukup penting dan sebagai pedoman pokok bagi desa-desa antara lain adalah :
a. Indische Staatsregeling pasal 128 ayat 1 sampai 6. (mulai berlaku 2 september 1854, Stb 1854.2.)
b. Inlandsche Gemeente Ordonanntie Java en Modoera, disingkat dengan nama I.G.O (Stb.1906-83) dengan segala perubahannya.
Aturan ini merupakan pelaksanaan dari Pasal 71 Regeerings Reglement (RR) yang dikeluarkan tahun 1854 yang merupakan bentuk pengakuan terhadap adanya desa, demokrasi, dan otonomi desa.
c. Inlandsche Gemeente Ordonanntie Buitengewesten, disingkat dengan nama I.G.O.B (Stb. 1938-490 yo.681) dengan segala perubahannya.
d. Reglement op de verkiezing, de schorsing en het onslag van de hoofden der Inlandsche Gemeenten op Java en Madoera (Stb. 1907-212) dengan segala perubahannya.
e. Nieuwe regelen omtrent de splitsing en samenvoeging van desa op Java en Madoera met uitzondering van de Vorstenlanden (Bijblad 9308).
f. Herziene Indonesische Reglement, disingkat H.I.R atau Reglemen Indonesia yang diperbaharui, disingkat R.I.B (Stb 1848-16 yo Stb.1941-44).

Pada tahun 1854, Pemerintah Kolonial Belanda mengeluarkan ‘’Regeerings Reglement’’yang merupakan cikal bakal pengeturan tentang daerah dan desa. Dalam pasal  71 (pasal 128.I.S.) yang menegaskan tentang kedudukan desa, yakni :
1.    Bahwa desa yang dalam  peraturan itu disebut ‘’Inlandsche Gemeenten’’ atas pengesahan kepala daerah (residen, berhak untuk memilih kepalanya dan pemerintah desanya sendiri .
2.    Kepala desa itu diserahakan hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dengan memperhatikan peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh gubernur jenderal atau dari kepala daerah (residen). Gubernur jenderal menjaga hak tersebut terhadap segala pelanggaran.
Dalam ordonansi ini juga ditentukan keadaan dimana kepala desa dan anggota pemerintah desa diangkat oleh penguasa yang ditujuk untuk itu. Kepala desa bumiputera diberikan hak mengatur dan mengurus rumah tangganya dengan memperhatikan peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal, pemerintah wilayah dan residen atau pemrintah otonom yang ditujuk denga ordonansi. Selain itu, dalam ordonansi diatur wewenang dari Desa Bumiputera untuk ;
·       Memungut pajak dibawah pengawasan tertentu;
·      Di dalam batas-batas tertentu menetapkan hukuman terhadap pelanggaran atas aturan yang diadakan oleh Desa.
Ada 3 hak desa yang diperhatikan dalam pasal 71 tersebut, antara lain :
1.    Desa berhak memilih sendiri Kepala Desa;
2.    Desa berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri
3.    Desa yang terletak di kota (kota praja) di hapus.
Berdasarkan kepada ketata negaraan Hindia Belanda, sebagaimana tersurat dalam Indische Staatsregeling, maka pemerintah Kolonial Hindia Belanda memberikan hak untuk menyelenggarakan pemerintahan sendiri kepada Kesatuan-Kesatuan Masyarakat Hukum “Pribumi” dengan sebutan Inlandsche gemeente yang terdiri dari dua bentuk, yaitu swapraja dan desa atau yang dipersamakan dengan desa.
Bagi swapraja-swapraja yaitu bekas-bekas kerajaan-kerajaan yang ditaklukkan tetapi masih diberi kelonggaran yaitu berupa hak menyelenggarakan pemerintahan sendiri (self bestuur) berdasarkan hukum adatnya dengan pengawasan penguasa-penguasa Belanda dan dengan pembatasan-pembatasan atas hal-hal tertentu, disebut dengan nama Landschap. Selanjutnya bagi desa-desa atau yang dipersamakan dengan desa (Kesatuan-Kesatuan Masyarakat Hukum di luar Jawa, Madura dan Bali) mendapat sebutan Inlandsche Gemeente dan Dorp dalam H.I.R.
Untuk kepentingan pelaksanaan pemerintahan dan kemantapan sistem kolonialisme maka para pejabat pemerintah Belanda telah memberikan sekedar perumusan tentang sebutan Inladsche Gemeente sebagai berikut : ‘’Suatu kesatuan masyarakat yang bertempat tinggal dalam suatu wilayah tertentu, yang memiliki hak menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan kepada hukum adat dan peratuaran perundang-undangan Hindia Belanda untuk hal-hal tertentu, dan pemerintahannya merupakan bagian terbawah dari susunan pemerintah Kabupaten dan Swapraja’’. Pengertian tentang Inlandsche Gemeente tersebut di atas tidak lain  wujudnya adalah desa-desa, tidak secara tegas dan terperinci dicantumkan dalam I.G.O dan I.G.O.B. uraian pengertian tersebut disampaikan antara lain dalam rangkaian penyusunan I.G.O di Volksraad tahun 1906.
3.1.2 Pada Masa Penjajahan Jepang
Pada masa Pemerintah militer Jepang  tidak banyak merubah peratuaran perundang-undangan yang dibuat Belanda sepanjang tidak merugikan strategi “Perang Asia Timur Raya” yang harus dimenangkan oleh Jepang. Demikian pula Hukum Adat tidak diganggu apalagi dihapuskan. Masih tetap dapat digunakan oleh bangsa Indonesia, sepanjang tidak merugikan Jepang.
Selama Jepang menjajah 3 ½ tahun I.G.O dan I.G.O.B. secara formal terus berlaku. Satu-satunya pengaturan mengenai desa diatur dalam  Osamu Seirei No. 7 tahun 2604(1944) namun, dalam osamu seirei tidak hanya mengatur tentang desa tetapi juga pemerintah diatasnya. Dengan demikian nama desa juga berubah menjadi ‘’Ku’’. Dari ketentuan Osamu seirei bahwa kepala desa (kucoo) diangkat dengan jalan pemilihan oleh guncoo. Gunco adalah selaku dewan yang berhak menetukan tanggal pemilihan dan syarat-syarat lain dalam pemilihan kucoo. Masa jabatan kucoo adalah 4 (empat) tahun dan kocoo dapat dipecat oleh Syucookan.  Pemerintah desa pada masa penjajahan Jepang terdiri dari 9 (Sembilan) pejabat  dengan rincian,  1(satu) lurah, 1 (satu) carik, 5 (lima) mandor, 1 (polisi desa) dan seorang amir yang mengerjakan urusan agama.
Dalam Suhartono (2001:49), desa pada masa penjajahan Jepang ditempatkan diatas aza (kampung,dusun) yang merupakan institusi terbawah. Pada masa pendudukan Jepang ini otonomi desa dibatasi bahkan desa dibawah pengaturan dan pengendalian yang sangat ketat.  Desa-desa oleh Jepang dinilai sebagai bagian yang cukup vital bagi strategi memenangkan “Perang Asia Timur Raya”. Oleh karenanya Desa-desa dijadikan basis logistik perang. Kewajiban Desa-desa semakin bertambah banyak dan bebannya semakin bertambah berat. Desa-desa harus menyediakan pangan dan tenaga manusia yang disebut romusya untuk keperluan pertahanan militer Jepang. Dengan demikian bagi Jepang pengertian Ku (Desa) adalah Suatu Kesatuan Masyarakat berdasarkan adat dan peraturan perundang-undangan pemerintah Hindia Belanda serta pemerintah Militer Jepang, yang bertempat tinggal dalam suatu wilayah tertentu, memiliki hak menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri, merupakan kesatuan ketata negaraan terkecil dalam daerah Syu, yang kepalanya dipilih oleh rakyatnya dan disebut Kuco, dan merupakan bagian dari sistem pertahanan militer.
3.1.3 Pada Masa Orde Lama
Pada awal-awal Indonesia merdeka, untuk pengaturan desa Indonesia masih mengacu kepada I.G.O . dan I.G.O.B. karena belum stabilnya situasi politik dan keamanan Indonesia. Barulah pada atahun-tahun setelah pemulihan kedaulatan, mulai banyak terlihat berbagai kegiatan untuk menyiapkan Undang-Undangyang mengatur pemerintahan Desa sebagai pengganti I.G.O dan I.G.O.B. pun mengalami hambatan yang  tidak kecil. Akibatnya maka hal-hal yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman yang terdapat dalam IGO dan IGOB diatasi oleh berbagai peraturan yang derajatnya di bawah undang-undang.
Dengan sendirinya pengertian tentang Desa atau yang semacam dengan Desa masih tetap seperti pada masa dahulu, dengan sedikit penambahan di sana-sini. Barulah kemudian setelah keluar Undang-Undang Desapraja (sebagai pengganti IGO dan IGOB) pada tahun 1965, didapatlah pengertian resmi tentanf desa berdasarkan undang-undang Republik Indonesia. Pada pasal 1 Undang-Undang Desapraja (No. 19 Tahun 1965) dijelaskan apa yang dimaksud dengan Desapraja yaitu :
Desapraja adalah Kesatuan Masyarakat Hukum yang tertentu batas-batas daerahnya, berhak mengurus rumah tangganya sendiri, memilih penguasanya dan mempunyai harta benda sendiri. Jadi Desapraja pada undang-undang tersebut di atas itu hanyalah nama baru bagi Desa yang sudah ada sejak berabad-abad yang lampau, yang memiliki pengertian sama seperti di atas.
Undang-Undang Desapraja tidak berumur lama,sebab ketika Orde Baru lahir, undang-undang yang jiwanya dan sistem pengaturannya akan dapat membawa ke arah ketidakstabilan politik di Desa-desa, dinyatakan tidak berlaku oleh Undang-Undang No. 6 Tahun 1969.
3.1.4 Pada masa Orde Baru
Pada masa orde baru peraturan mengenai desa mengalami perubahan lagi yang ditandai dengan terbitnya UU No. 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa. Berbeda dengan pengaturan berdasarkan IGO dan UU No. 16 Tahun 1965, menurut UU No. 5 Tahun 1979, pengaturan yang tidak menyeragamkan pemerintahan desa kadang-kadang merupakan hambatan untuk melaksanakan pembinaan dan pengendalian yang intensif guna meningkatkan taraf hidup masyarakat.
Oleh karena itulah secara tegas dinyatakan di dalam UU ini bahwa kebijakan mengenai desa diarahkan pada penyeragaman bentuk dan susunan pemerintahan desa denagn corak nasional. Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1979, desa adalah Suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat, termasuk di dalamnya esatuan Masyarakat Hukum, yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Camat dan berhak menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Hak menyelenggarakan rumah tangganya dalam pengertian ini bukanlah merupakan hak otonomi, sehinggadapat dikatakan bahwa dengan UU No. 5 Tahun 1979 administrasi dipisahkan dari hak adat istiadat dan hak asal-usul. Desa diharuskan mengikuti pola yang baku dan seragam dengan hak otonominya yaitu hak untuk mengatur diri sendiri ditiadakan. Desa hanya sebagai satuan administratif dalam tatanan pemerintahan.
Secara struktural desa ditempatkan sebagai organisasi pemerintahan di bawah camat, sehingga menunjukkan bahwa hubungan antar desa dengan supra desa bersifat hirarkis sampai ke tingkat pusat. Hal ini dikarenakan posisi camat sebagai kepala wilayah yang menjalankan asas dekonsentrasi atau merupakan unsur pemerintah pusat yang ada di daerah. Karena pola hubungan yang bersifat hirarkis mak seluruh peraturan perundang-undangan yang mengetur tentang desa dibuat oleh pemerintah pusat dan diberlakukan secara nasional.
3.1.5 Pada Masa Reformasi
Setelah terjadi gerakan reformasi pada tahun 1998, pengaturan mengenai desa mengalami perubahan seiring dengan terbitnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. UU ini secara nyata mengakui otonomi desa. Otonomi yang dimiliki oleh desa menurut UU No. 22 Tahun 1999 adalah berdasarkan asal-usul dan adat istiadatnya bukan berdasarkan penyerahan wewenang dari Pemerintah. Sehingga yang disebut Desa atau nama lainnya, yang selanjutnya disebut Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten. Dengan demikian, otonomi yang dimiliki desa adalah Otonomi Asli, yaitu otonomi yang berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat. Sehingga dalam kenyataannya pasti akan timbul berbagai keanekaragaman, baik dari segi nama, susunan pemerintahan, maupun bentuk-bentukan geografisnya. Tegasnya, terdapat keadaan-keadaan khusus yang berbeda satu dengan yang lainnya. Dari sinilah sebenarnya prinsip-prinsip "Kebhinekaan" itu ada dan berkembang secara nyata dalam masyarakat. Sehingga secara riil hak-hak, asal-usul, dan istiadat dihormati sebagai modal pembangunan desa
Dengan terbitnya UU No. 22 Tahun 1999 juga terjadi perubahan dalam aspek pemerintahan desa. Menurut ketentuan di dalam UU No. 22 Tahun 1999 di desa dibentuk Pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Desa, yang merupakan Pemerintahan Desa. Pemerintah Desa sebagai unsur eksekutif dan Badan Perwakilan Desa sebagai unsur Legislatif, yang tidak dikenal dalam UU No. 5 Tahun 1979. Dengan konsep pemerintahan desa yang seperti ini maka dalam pelaksanaan tugasnya Kepala Desa bertanggungjawab kepada rakyat melalui BPD.
Terbitnya UU No. 22 Tahun 1999 juga merubah tata hubungan desa dengan supra desa sebagaimana diatur oleh UU No. 5 Tahun 1979. Perubahan tata hubungan tersebut terdapat dalam beberapa hal sebagai berikut:
a) Terjadi reposisi camat dalam sistem pemerintahan di kabupaten/kota. Apabila sebelumnya camat merupakan kepala wilayah, di dalam UU No. 22 Tahun 1999 posisi camat merupakan perangkat daerah. Pengaturan di dalam UU No. 22 Tahun 1999 tidak memberikan pengaturan secara tegas kewenangan camat dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintahan desa.
b) Dengan pertanggungjawaban kepala desa kepada BPD maka kepala desa tidak lagi bertanggung jawab kepada Gubernur melalui Bupati Kepala Daerah Tingkat II sebagaimana diatur dengan UU No. 5 Tahun 1979.
c) Desa dapat melaksanakan tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten. Hal ini tidak diatur dalam UU No. 5 Tahun 1979.
Pengaturan mengenai desa kembali mengalami perubahan seiring dengan terbitnya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pengaturan mengenai desa di dalam UU No. 32 Tahun 2004 kemudian ditindaklanjuti oleh PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa. Dalam hal kewenangan secara prinsipil tidak ada perubahan yang mendasar dalam pengaturan mengenai kewenangan desa. Sama halnya dengan UU No. 22 Tahun 1999, desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten, yang dinyatakan secara tegas di dalam Pasal 7 PP No. 72 Tahun 2005 bahwa urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa mencakup:
a.    urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa;
b.    urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa;
c.     tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah 
d.    urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan diserahkan kepada desa.
Perubahan mendasar tampak dalam aspek sistem pemerintahan baik pemerintahan desa maupun dengan hubungannya dengan supra desa. Menurut UU No. 32 Tahun 2004, Pemerintahan Desa terdiri dari Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Kepala Desa mempunyai kewajiban untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa kepada Bupati/Walikota, memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada BPD, serta menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa kepada masyarakat. Untuk meningkatkan pelayanan di dalam UU No. 32 Tahun 2004 ditegaskan bahwa sekretaris desa akan diisi oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Di dalam UU No. 32 Tahun 2004, Camat diberikan peranan yang tegas dalam kaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan desa. Menurut ketentuan dalam Pasal 126 ayat (3) huruf a camat memiliki kewenangan untuk membina penyelenggaraan pemerintahan desa. Yang dimaksud dengan membina pada ketentuan ini adalah dalam bentuk fasilitasi pembuatan Peraturan Desa dan terwujudnya administrasi tata pemerintahan desa yang baik.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, bertransformasi menjadi UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa yang diundangkan pada 15 Januari 2014. UU No. 6 mengetur lebih kompleks lagi mengenai penyelenggaraan pemerintahan desa.

  


BAB IV
PENUTUP

4.1  Kesimpulan
Otonomi desa merupakan otonomi asli, bulat, dan utuh serta bukan merupakan pemberian dari pemerintah. Otonomi yang dimiliki oleh desa adalah berdasarkan asal-usul dan adat istiadatnya, bukan berdasarkan penyerahan wewenang dari Pemerintah. Pelaksanaan hak, wewenang dan kebebasan otonomi desa menuntut tanggungjawab untuk memelihara integritas, persatuan dan kesatuan bangsa dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tanggungjawab untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang dilaksanakan dalam koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pemerintahan Desa Adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintahan Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dari kelima era memang pada masa era reformasilah Desa diberi wewenang yang lebih luas dalam mengurus rumah tangganya. Hal ini disebabkan juga karena pikiran masyarakat sudah terbuka seiring dengan demokrasi yang menggema, hingga menimbulakn tuntutan-tuntutan yang dianggap perlu untuk kemajuan desa. Jika diliaht dari penjabaran mengenai sejarah pemerintahan desa diatas. Pada era Kolonial Belanda, desa atau nama lain dibolehkan berkembang dengan adat istiadat dan hak asal-usulnya srta mengurus rumah tangganya sendiri dengan tetap memperhatikan hokum Belanda.
Namun, ketika era jepang otonomi desa dibatasi dan desa dianggap sebagai basis logistic perang untuk mempersiapakan keprluan pertahanan militer Jepang. Pasca kemrdekaan. Masa orla, desa kembali diberikan hak asal usulnya dan penyebutan nana desa tidak diseragamkan tidak seperti halnya masa pemerintahan Jepang.
Peraturan mengenai pemerintahan desa pada orde baru mengalami perubahan seiring dengan diberlakukannya UU No. 5 Tahun 1979, desa dipandang sebagai satuan wilayah administrative dibawah camat. Desa memamng diberikan hak otonomi namun bukan hak otonom asli. Pada masa reformasi hak otonomi desa yang menyangkut hak adat istiadat dan asal usul kembali diberikan. Dan penyebutan nama desa tidak seragam.
Dengan munculnya UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa, desa pada masa ini lebih memiliki karakter dan kekuatan hukum untuk menjalankan urusan rumah tangganya sendiri, untuk mengurus kekayaan alam yang ada di desanya. Begitu pula dengan desa adat bisa memberlakukan adaatnya namun harus sesuai dengan prinsip dan tidak mengganggu kedaulatan NKRI. Sehingga secara tidak langsung, negara masi membatasi eksistensi hukum adat yang ada dalam desa adat. Namun, desa atau desa adat adalah merupakan bagian dari NKRI hingga memang perlu untuk taat dan patuh pada hukum negara.



DAFTAR PUSTAKA


Prof. Drs. HAW Widjaja.2004.Otonomi Desa Merupakan Otonomi yang Asli, Bulat dan Utuh.Jakarta:PT RajaGrafindo Persada.
Sutardjo, Kartohadikusumo.1988.Desa.Penerbit:kanisius. Yogyakarta.
Ateng Syafrudin,Suprin Na’a.2010.Republik Desa Pergulatan HukumTradisonal dan Hukum Modern dalam Desain Otonomi Desa.Bandung: PT Alumni.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa

Tuesday, March 15, 2016

The Past One

Aku bingung mau mulai dari mana.
Tapi berusaha ku lupakan namun selalu saja masih terbayang. Sekelebat bayangannya menghampiri ingatanku, membuat luka yang ada semakin perih. Berusaha ku tepis tapi air mata selalu saja jatuh. Apa ku harus mencari penggantinya agar bisa melupakannya atau setidaknya mengalihkan pikiranku tentangnya.
Namun, terasa sulit untuk jatuh cinta kepada seseorang. Aku pun takut jatuh pada cinta yang salah, malah akan membuatku kembali terluka. Aku sadar semuanya tidak akan kembali seperti dulu.

Kebahagiaan yang ia dapatkan sekarang sudah cukup baginya, aku hanya kepingan masa lalu yang sudah usai. Dilupakan. Bersamaku pun tak pernah membuat dia bahagia. Mungkin aku yang tak tahu cara membuat dia bahagia.
Malam, ku tersedu dalam kesendirian, terbayang apa yang telah ku lakukan padanya. Menyesal pun tak ada guna. Semua telah sirna, harapan & rencana. Kini ku harus bangkit menggapai  mimpi-mimpi indah, meniti jalan untuk sukses. Membahagiakan keluarga.
Catatan dalam kenangan..22-05-2015

Postingan Terakhir

PENGALAMAN TES CPNS KPU TA 2018