BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sejak jatuhnya rezim orde baru dan
beralih ke reformasi azas penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia sedikit
demi sedikit mengarah kearah desentralisasi. Walaupun sebenarnya pada masa orde
baru penyelenggaraan pemerintahannya adalah desentralisasi namun dalam
prakteknya menganut sentralisasi karena semua urusan tergantung pada pusat.
Dengan diselenggarakannya azas
desentralisasi maka hak otonom pun diberikan kepada daerah untuk dapat mengurus
rumah tangganya sendiri. Termasuk didalamnya desa yang juga mempunyai hak yang
sama dengan daerah tingkat I dan II yaitu hak otonom. Otonomi desa dimaksudkan
agar desa bisa mengatur rumah tangganya berdasarkan hak asal-uslnya dan sesuai
dengan daerahnya untuk memajukan desa tersebut.
Istilah desa pertama kali ditemukan
oleh Mr. Herman Warner Muntinghe tahun 1817,
seorang Belanda anggota dari Raad Van Indie pada masa penjajahan
kolonial Inggris dan merupan pembantu
Gubernur Jendral Inggris yang berkuasa pada tahun 1811. Kata desa sendiri
berasal dari Bahasa India yaitu ‘’swadesi’’
yang berarti tempat asal, tempat tinggal, negeri asal, atau taah leluhur yang
merujuk pada satu kesatuan hidup, dengan satu kesatuan norma, serta memiliki
batas yang jelas. Melihat kenyataan ini desa sudah ada sejak NKRI ini belum
terbentuk, namun setelah merdeka hak asli desa seolah dirampas menjadi milik
negara yang pada awalnya diatur sendiri kemudian pasca kemerdekaan tepatnya
pada masa orde baru diatur oleh negara.
Dengan dikembalikannya hak otonomi desa dalam
penyelenggaraan pemerintahannya, bisa dengan leluasa mengendalikan daerahnya, memberdayakan
potensi daerahnya untuk kesejahteraan masyarakatnya. Apalagi di masa ini ketika
desa semakin diistimewakan dengan lahirnya UU No. 6 Tahun 2014, maka tidak ada
alasan bagi desa harus menggantungkan nasibnya kepada daerah yang ada diatasnya
(kabupaten).
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas
maka yang akan dibahas dalam makalah ini adalah mengenai perkembangan pemerintahan
desa di Indonesia.
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui
perkembangan pemerintahan desa di Indonesia.
BAB II
STUDI PUSTAKA
2.1 Otonomi Desa
Soetarjo Kartohadikusumo di dalam buku
yang berjudul “Desa”, mengemukakan bahwa dari segi perbendaharaan sejarah kata
atau etimologi, kata Desa berasal dari bahasa sansekerta yaitu berasal dari
kata Deshi yang artinya “Tanah Kelahiran” atau “Tanah Tumpah Darah”.
Selanjutnya dari kata Deshi itu terbentuk kata Desa.
Desa adalah sebagai tempat tinggal
kelompok atau sebagai masyarakat hukum dan wilayah daerah kesatuan
administratif, wujud sebagai kediaman beserta tanah pertanian, daerah
perikanan, tanah sawah, tanah pangonan, hutan blukar, dapat juga wilayah yang
berlokasi ditepi lautan/danau/sungai/irigasi/ pegunugan, yang keseluruhannya
merupakan wilayah-wilayah yang dikuasai oleh Hak Ulayat Masyarakat Desa.
Desa menurut Prof. Drs. HAW. Widjaja
dalam bukunya “Otonomi Desa” menyatakan bahwa: “Desa adalah kesatuan masyarakat
hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak asal usul yang bersifat
istimewa, landasan pemikiran dalam mengenai Desa adalah keanekaragaman,
partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat”.
Desa dibentuk atas prakarsa
masyarakat dengan memerhatikan asal usul desa dan kondisi
sosial budaya masyarakat setempat. Pembentukan desa dapat berupa
penggabungan beberapa desa, atau bagian desa yang bersandingan, atau
pemekaran dari satu desa menjadi dua desa atau lebih, atau pembentukan
desa di luar desa yang telah ada. Desa dapat diubah atau disesuaikan statusnya
menjadi kelurahan berdasarkan prakarsa pemerintah desa bersama BPD dengan
memerhatikan saran dan pendapat masyarakat setempat. Desa yang berubah menjadi
kelurahan, lurah dan perangkatnya diisi dari pegawai negeri sipil dan
kekayaannya menjadi kekayaan daerah dan dikelola oleh kelurahan yang
bersangkutan untuk kepentingan masyarakat setempat.
Lebih lanjut Widjaja, menyatakan
bahwa otonomi desa merupakan otonomi asli, bulat, dan utuh serta bukan
merupakan pemberian dari pemerintah. Sebaliknya pemerintah berkewajiban
menghormati otonomi asli yang dimiliki oleh desa tersebut. Sebagai kesatuan
masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak istimewa, desa
dapat melakukan perbuatan hukum baik hukum publik maupun hukum perdata,
memiliki kekayaan, harta benda serta dapat dituntut dan menuntut di muka
pengadilan.
Bagi desa, otonomi yang dimiliki
berbeda dengan otonomi yang dimiliki oleh daerah propinsi maupun daerah
kabupaten dan daerah kota. Otonomi yang dimiliki oleh desa adalah berdasarkan
asal-usul dan adat istiadatnya, bukan berdasarkan penyerahan wewenang dari
Pemerintah. Desa atau nama lainnya, yang selanjutnya disebut desa adalah
kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat
setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah
Kabupaten. Landasan pemikiran yang perlu dikembangkan saat ini adalah
keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokrasi, dan pemberdayaan
masyarakat.
Pengakuan otonomi di desa, Taliziduhu
Ndraha (1997:12) menjelaskan sebagai berikut :
a) Otonomi desa diklasifikasikan,
diakui, dipenuhi, dipercaya dan dilindungi oleh pemerintah, sehingga
ketergantungan masyarakat desa kepada “kemurahan hati” pemerintah dapat semakin
berkurang.
b) Posisi dan peran pemerintahan desa
dipulihkan, dikembalikan seperti sediakala atau dikembangkan sehingga mampu
mengantisipasi masa depan.
Namun harus selalu diingat bahwa
tiada hak tanpa kewajiban, tiada kewenangan tanpa tanggungjawab dan tiada
kebebasan tanpa batas. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan hak, kewenangan dan
kebebasan dalam penyelenggaraan otonomi desa harus tetap menjunjung nilai-nilai
tanggungjawab terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan menekankan
bahwa desa adalah bagian yang tidak terpisahkan dari bangsa dan negara
Indonesia. Pelaksanaan hak, wewenang dan kebebasan otonomi desa menuntut
tanggungjawab untuk memelihara integritas, persatuan dan kesatuan bangsa dalam
ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tanggungjawab untuk mewujudkan
kesejahteraan rakyat yang dilaksanakan dalam koridor peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
2.2 Pemerintahan Desa
Pemerintahan Desa merupakan bagian
dari Pemerintahan Nasional yang penyelenggaraannya ditujukan pada pedesaan.
Sebelum lahirnya Undang-Undang No 22 Tahun 2009 tentang Pemerintah Daerah
berlaku kebijakan Pemerintah Desa dengan Undang-Undang Pemerintah Desa No. 5
tahun 1979 yang menyatakan bahwa desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh
sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan
masyarakat huklum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di
bawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Rumusan tersebut memuat konsep hak untuk
menyelenggarakan rumah tangganya sendiri, namun jugs disebutkan bahwa desa
merupakan organisasi pemerintahan terendah di bawah camat.
UU No 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintah Daerah menempatkan desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang
berhak dan berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat sesuai dengan hak asal-usul desanya. UU No 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintah Daerah dipandang terlalu liberal dan federalistik, sehingga
dikhawatirkan dapat mengancam keutuhan NKRI.
Pembagian kewenangan terlalu mutlak pada daerah
membuat perimbangan kekuasaan antara pusat dan daerah tidak proporsional,
sehingga kontrol pusat dan provinsi terhadap daerah hilang. Dihawatirkan UU ini
rentan melahirkan konflik dan masalah di tengah masyarakat. Karena berbagi
kelemahan tersebut, maka UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah diganti
dengan berlakunya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
2.3 Susunan Organisasi Pemerintahan Desa
2.3.1
Kepala Desa
Kepala desa merupakan kepala pemerintahan di tingkat Desa .Kepala desa dipilih langsung oleh penduduk desa
yang bersangkutan dan dilantik oleh bupati dan pejebat lain yang ditunjuk.
Kepala desa bertugas
menyelenggarakan :
· Pemerintahan Desa
· melaksanakan Pembangunan Desa
· pembinaan kemasyarakatan Desa
· pemberdayaan masyarakat Desa.
Kepala Desa berwenang
untuk :
· memimpin penyelenggaraan Pemerintahan Desa;
· mengangkat dan memberhentikan perangkat Desa;
· memegang kekuasaan pengelolaan Keuangan dan Aset Desa;
· menetapkan Peraturan Desa;
· menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa;
· membina kehidupan masyarakat Desa;
· membina ketenteraman dan ketertiban masyarakat Desa;
2.3.2
Perangkat Desa
Perangkat desa adalah
aparat pembantu pemerintahan desa. Perangkat desa terdiri atas skretaris desa
dan kepala dusun. Sekretaris desa adalah unsure staf yang membantu kades dalam
menjalankan hak, wewenang dan kewajiban pimpinan pemerintahan desa. Kepala
dusun adalah unsure pelaksana tugas kepala desa dengan wilayah kerja tertentu
dalam lingkungan suatu desa.
Menurut ketetuan dalam Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, perangkat desa terdiri dari;
sekretariat desa, pelaksana kewilayahan dan pelaksanateknis.
Perangkat desa mempunyai tugas,
seperti yang tertera dalam undang-udang nomor6 tahun 2014 tentang desa Pasal 49
yaitu:
(1) Perangkat Desa sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 48 bertugasmembantu Kepala Desa dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya.
(2) Perangkat Desa sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diangkat oleh KepalaDesa setelah dikonsultasikan dengan Camat
atas nama Bupati/Walikota.
(3) Dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya, perangkat Desasebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab
kepada KepalaDesa.
2.3.3 Badan
Permusyawaratan Desa (BPD)
Badan
Permusyawaratan desa yang selanjutnya disebut BPD adalah lembaga yang merupakan
perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa sebagai unsur
penyelenggara Pemerintahan Desa. BPD berfungsi untuk menetapkan Peraturan Desa
bersama kepala Desa, dan menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Anggota
BPD adalah wakil dari penduduk Desa bersangkutan berdasarkan keterwakilan
wilayah yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat. Masa jabatan
anggota BPD adalah 6 tahun dan dapat diangkat/diusulkan kembali untuk I (satu)
kali masa jabatan berikutnya, pimpinan dan anggota BPD tidak diperbolehkan
merangkap sebagai kepala desa dan perangkatnya.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Sejarah Perkembangan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa di Indonesia
3.1.1 Pada Masa Penjajahan Belanda
Pada masa penjajahan Beland, pemerintah kolonial Hindia Belanda menghormati
dan mengakui serta “mempersilahkan” Adat dan Hukum Adat berlaku dan dapat
digunakan sebagai landasan hukum bagi berbagai kegiatan Hukum “Golongan
Pribumi” dan sebagai hukum dasar bagi desa-desa, sepanjang tidak bertentangan
dengan kepentingan politik dan sistem kolonialisme. Peraturan
perundang-undangan yang cukup penting dan sebagai pedoman pokok bagi desa-desa
antara lain adalah :
a. Indische Staatsregeling pasal 128 ayat 1 sampai 6. (mulai berlaku 2 september
1854, Stb 1854.2.)
b. Inlandsche Gemeente
Ordonanntie Java en Modoera, disingkat dengan nama I.G.O (Stb.1906-83)
dengan segala perubahannya.
Aturan ini merupakan pelaksanaan dari Pasal 71 Regeerings
Reglement (RR) yang dikeluarkan tahun 1854 yang merupakan bentuk pengakuan
terhadap adanya desa, demokrasi, dan otonomi desa.
c. Inlandsche Gemeente Ordonanntie Buitengewesten, disingkat dengan nama I.G.O.B (Stb. 1938-490 yo.681)
dengan segala perubahannya.
d. Reglement op de
verkiezing, de schorsing en het onslag van de hoofden der Inlandsche Gemeenten
op Java en Madoera (Stb. 1907-212) dengan segala perubahannya.
e. Nieuwe regelen omtrent
de splitsing en samenvoeging van desa op Java en Madoera met uitzondering van
de Vorstenlanden (Bijblad 9308).
f. Herziene Indonesische
Reglement, disingkat H.I.R atau Reglemen Indonesia yang diperbaharui,
disingkat R.I.B (Stb 1848-16 yo Stb.1941-44).
Pada tahun 1854, Pemerintah Kolonial
Belanda mengeluarkan ‘’Regeerings Reglement’’yang merupakan cikal bakal
pengeturan tentang daerah dan desa. Dalam pasal
71 (pasal 128.I.S.) yang menegaskan tentang kedudukan desa, yakni :
1.
Bahwa desa yang
dalam peraturan itu disebut ‘’Inlandsche
Gemeenten’’ atas pengesahan kepala daerah (residen, berhak untuk memilih
kepalanya dan pemerintah desanya sendiri .
2.
Kepala desa itu
diserahakan hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dengan
memperhatikan peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh gubernur jenderal atau
dari kepala daerah (residen). Gubernur jenderal menjaga hak tersebut terhadap
segala pelanggaran.
Dalam ordonansi ini juga ditentukan
keadaan dimana kepala desa dan anggota pemerintah desa diangkat oleh penguasa
yang ditujuk untuk itu. Kepala desa bumiputera diberikan hak mengatur dan
mengurus rumah tangganya dengan memperhatikan peraturan-peraturan yang
dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal, pemerintah wilayah dan residen atau
pemrintah otonom yang ditujuk denga ordonansi. Selain itu, dalam ordonansi
diatur wewenang dari Desa Bumiputera untuk ;
· Memungut pajak dibawah pengawasan
tertentu;
· Di dalam batas-batas tertentu
menetapkan hukuman terhadap pelanggaran atas aturan yang diadakan oleh Desa.
Ada 3 hak desa yang diperhatikan dalam pasal 71 tersebut,
antara lain :
1. Desa berhak memilih sendiri Kepala
Desa;
2. Desa berhak mengatur dan mengurus
rumah tangganya sendiri
3. Desa yang terletak di kota (kota
praja) di hapus.
Berdasarkan kepada ketata negaraan Hindia Belanda, sebagaimana
tersurat dalam Indische Staatsregeling,
maka pemerintah Kolonial Hindia Belanda memberikan hak untuk menyelenggarakan
pemerintahan sendiri kepada Kesatuan-Kesatuan Masyarakat Hukum “Pribumi” dengan
sebutan Inlandsche gemeente yang
terdiri dari dua bentuk, yaitu swapraja dan desa atau yang dipersamakan dengan
desa.
Bagi swapraja-swapraja yaitu bekas-bekas
kerajaan-kerajaan yang ditaklukkan tetapi masih diberi kelonggaran yaitu berupa
hak menyelenggarakan pemerintahan sendiri (self
bestuur) berdasarkan hukum adatnya dengan pengawasan penguasa-penguasa
Belanda dan dengan pembatasan-pembatasan atas hal-hal tertentu, disebut dengan
nama Landschap. Selanjutnya bagi
desa-desa atau yang dipersamakan dengan desa (Kesatuan-Kesatuan Masyarakat
Hukum di luar Jawa, Madura dan Bali) mendapat sebutan Inlandsche Gemeente dan Dorp dalam H.I.R.
Untuk kepentingan pelaksanaan pemerintahan dan kemantapan
sistem kolonialisme maka para pejabat pemerintah Belanda telah memberikan
sekedar perumusan tentang sebutan Inladsche
Gemeente sebagai berikut : ‘’Suatu kesatuan masyarakat yang bertempat
tinggal dalam suatu wilayah tertentu, yang memiliki hak menyelenggarakan urusan
rumah tangganya sendiri berdasarkan kepada hukum adat dan peratuaran
perundang-undangan Hindia Belanda untuk hal-hal tertentu, dan pemerintahannya
merupakan bagian terbawah dari susunan pemerintah Kabupaten dan Swapraja’’.
Pengertian tentang Inlandsche Gemeente
tersebut di atas tidak lain wujudnya
adalah desa-desa, tidak secara tegas dan terperinci dicantumkan dalam I.G.O dan
I.G.O.B. uraian pengertian tersebut disampaikan antara lain dalam rangkaian
penyusunan I.G.O di Volksraad tahun 1906.
3.1.2 Pada Masa Penjajahan Jepang
Pada masa Pemerintah militer Jepang tidak banyak merubah peratuaran
perundang-undangan yang dibuat Belanda sepanjang tidak merugikan strategi
“Perang Asia Timur Raya” yang harus dimenangkan oleh Jepang. Demikian pula
Hukum Adat tidak diganggu apalagi dihapuskan. Masih tetap dapat digunakan oleh
bangsa Indonesia, sepanjang tidak merugikan Jepang.
Selama Jepang menjajah 3 ½ tahun I.G.O dan I.G.O.B. secara
formal terus berlaku. Satu-satunya pengaturan mengenai desa diatur dalam Osamu
Seirei No. 7 tahun 2604(1944) namun, dalam osamu seirei tidak hanya mengatur tentang desa tetapi juga
pemerintah diatasnya. Dengan demikian nama desa juga berubah menjadi ‘’Ku’’.
Dari ketentuan Osamu seirei bahwa kepala desa (kucoo) diangkat dengan jalan
pemilihan oleh guncoo. Gunco adalah selaku dewan yang berhak menetukan tanggal
pemilihan dan syarat-syarat lain dalam pemilihan kucoo. Masa jabatan kucoo
adalah 4 (empat) tahun dan kocoo dapat dipecat oleh Syucookan. Pemerintah desa pada masa penjajahan Jepang
terdiri dari 9 (Sembilan) pejabat dengan
rincian, 1(satu) lurah, 1 (satu) carik,
5 (lima) mandor, 1 (polisi desa) dan seorang amir yang mengerjakan urusan
agama.
Dalam Suhartono (2001:49), desa pada masa penjajahan Jepang
ditempatkan diatas aza (kampung,dusun) yang merupakan institusi terbawah. Pada
masa pendudukan Jepang ini otonomi desa dibatasi bahkan desa dibawah pengaturan
dan pengendalian yang sangat ketat.
Desa-desa oleh Jepang dinilai sebagai bagian yang cukup vital bagi
strategi memenangkan “Perang Asia Timur Raya”. Oleh karenanya Desa-desa
dijadikan basis logistik perang. Kewajiban Desa-desa semakin bertambah banyak
dan bebannya semakin bertambah berat. Desa-desa harus menyediakan pangan dan
tenaga manusia yang disebut romusya untuk keperluan pertahanan militer Jepang.
Dengan demikian bagi Jepang pengertian Ku
(Desa) adalah Suatu Kesatuan Masyarakat berdasarkan adat dan peraturan
perundang-undangan pemerintah Hindia Belanda serta pemerintah Militer Jepang,
yang bertempat tinggal dalam suatu wilayah tertentu, memiliki hak
menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri, merupakan kesatuan ketata
negaraan terkecil dalam daerah Syu,
yang kepalanya dipilih oleh rakyatnya dan disebut Kuco, dan merupakan bagian dari sistem pertahanan militer.
3.1.3 Pada Masa Orde Lama
Pada awal-awal Indonesia merdeka,
untuk pengaturan desa Indonesia masih mengacu kepada I.G.O . dan I.G.O.B.
karena belum stabilnya situasi politik dan keamanan Indonesia. Barulah pada
atahun-tahun setelah pemulihan kedaulatan, mulai banyak terlihat berbagai
kegiatan untuk menyiapkan Undang-Undangyang mengatur pemerintahan Desa sebagai
pengganti I.G.O dan I.G.O.B. pun mengalami hambatan yang tidak kecil. Akibatnya maka hal-hal yang
sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman yang terdapat dalam IGO dan IGOB
diatasi oleh berbagai peraturan yang derajatnya di bawah undang-undang.
Dengan sendirinya pengertian tentang
Desa atau yang semacam dengan Desa masih tetap seperti pada masa dahulu, dengan
sedikit penambahan di sana-sini. Barulah kemudian setelah keluar Undang-Undang
Desapraja (sebagai pengganti IGO dan IGOB) pada tahun 1965, didapatlah
pengertian resmi tentanf desa berdasarkan undang-undang Republik Indonesia.
Pada pasal 1 Undang-Undang Desapraja (No. 19 Tahun 1965) dijelaskan apa yang
dimaksud dengan Desapraja yaitu :
Desapraja adalah Kesatuan Masyarakat
Hukum yang tertentu batas-batas daerahnya, berhak mengurus rumah tangganya
sendiri, memilih penguasanya dan mempunyai harta benda sendiri. Jadi Desapraja
pada undang-undang tersebut di atas itu hanyalah nama baru bagi Desa yang sudah
ada sejak berabad-abad yang lampau, yang memiliki pengertian sama seperti di
atas.
Undang-Undang Desapraja tidak berumur lama,sebab ketika
Orde Baru lahir, undang-undang yang jiwanya dan sistem pengaturannya akan dapat
membawa ke arah ketidakstabilan politik di Desa-desa, dinyatakan tidak berlaku
oleh Undang-Undang No. 6 Tahun 1969.
3.1.4 Pada masa Orde Baru
Pada masa orde baru peraturan
mengenai desa mengalami perubahan lagi yang ditandai dengan terbitnya UU No. 5
Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa. Berbeda dengan pengaturan berdasarkan IGO
dan UU No. 16 Tahun 1965, menurut UU No. 5 Tahun 1979, pengaturan yang tidak
menyeragamkan pemerintahan desa kadang-kadang merupakan hambatan untuk
melaksanakan pembinaan dan pengendalian yang intensif guna meningkatkan taraf
hidup masyarakat.
Oleh karena itulah secara tegas
dinyatakan di dalam UU ini bahwa kebijakan mengenai desa diarahkan pada penyeragaman
bentuk dan susunan pemerintahan desa denagn corak nasional. Berdasarkan UU No.
5 Tahun 1979, desa adalah Suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai
kesatuan masyarakat, termasuk di dalamnya esatuan Masyarakat Hukum, yang mempunyai
organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Camat dan berhak
menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Hak menyelenggarakan rumah tangganya
dalam pengertian ini bukanlah merupakan hak otonomi, sehinggadapat dikatakan
bahwa dengan UU No. 5
Tahun 1979 administrasi dipisahkan dari hak adat istiadat dan hak asal-usul.
Desa diharuskan mengikuti pola yang baku dan seragam dengan hak otonominya
yaitu hak untuk mengatur diri sendiri ditiadakan. Desa hanya sebagai satuan
administratif dalam tatanan pemerintahan.
Secara struktural desa ditempatkan sebagai organisasi
pemerintahan di bawah camat, sehingga menunjukkan bahwa hubungan antar desa
dengan supra desa bersifat hirarkis sampai ke tingkat pusat. Hal ini
dikarenakan posisi camat sebagai kepala wilayah yang menjalankan asas
dekonsentrasi atau merupakan unsur pemerintah pusat yang ada di daerah. Karena
pola hubungan yang bersifat hirarkis mak seluruh peraturan perundang-undangan
yang mengetur tentang desa dibuat oleh pemerintah pusat dan diberlakukan secara
nasional.
3.1.5 Pada Masa Reformasi
Setelah terjadi gerakan reformasi pada tahun 1998,
pengaturan mengenai desa mengalami perubahan seiring dengan terbitnya UU No. 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. UU ini secara nyata mengakui otonomi
desa. Otonomi yang dimiliki oleh desa menurut UU No. 22 Tahun 1999 adalah
berdasarkan asal-usul dan adat istiadatnya bukan berdasarkan penyerahan
wewenang dari Pemerintah. Sehingga yang disebut Desa atau nama lainnya, yang
selanjutnya disebut Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki
kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dalam sistem
Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten. Dengan demikian, otonomi
yang dimiliki desa adalah Otonomi Asli, yaitu otonomi yang berdasarkan
asal-usul dan adat-istiadat setempat. Sehingga dalam kenyataannya pasti akan
timbul berbagai keanekaragaman, baik dari segi nama, susunan pemerintahan,
maupun bentuk-bentukan geografisnya. Tegasnya, terdapat keadaan-keadaan khusus
yang berbeda satu dengan yang lainnya. Dari sinilah sebenarnya prinsip-prinsip
"Kebhinekaan" itu ada dan berkembang secara nyata dalam masyarakat.
Sehingga secara riil hak-hak, asal-usul, dan istiadat dihormati sebagai modal
pembangunan desa
Dengan
terbitnya UU No. 22 Tahun 1999 juga terjadi perubahan dalam aspek pemerintahan
desa. Menurut ketentuan di dalam UU No. 22 Tahun 1999 di desa dibentuk
Pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Desa, yang merupakan Pemerintahan Desa. Pemerintah
Desa sebagai unsur eksekutif dan Badan Perwakilan Desa sebagai unsur
Legislatif, yang tidak dikenal dalam UU No. 5 Tahun 1979. Dengan konsep
pemerintahan desa yang seperti ini maka dalam pelaksanaan tugasnya Kepala Desa
bertanggungjawab kepada rakyat melalui BPD.
Terbitnya
UU No. 22 Tahun 1999 juga merubah tata hubungan desa dengan supra desa
sebagaimana diatur oleh UU No. 5 Tahun 1979. Perubahan tata hubungan tersebut
terdapat dalam beberapa hal sebagai berikut:
a) Terjadi reposisi camat dalam sistem
pemerintahan di kabupaten/kota. Apabila sebelumnya camat merupakan kepala
wilayah, di dalam UU No. 22 Tahun 1999 posisi camat merupakan perangkat daerah.
Pengaturan di dalam UU No. 22 Tahun 1999 tidak memberikan pengaturan secara
tegas kewenangan camat dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintahan
desa.
b) Dengan pertanggungjawaban kepala desa
kepada BPD maka kepala desa tidak lagi bertanggung jawab kepada Gubernur
melalui Bupati Kepala Daerah Tingkat II sebagaimana diatur dengan UU No. 5
Tahun 1979.
c) Desa dapat melaksanakan tugas
pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten. Hal
ini tidak diatur dalam UU No. 5 Tahun 1979.
Pengaturan
mengenai desa kembali mengalami perubahan seiring dengan terbitnya UU No. 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pengaturan mengenai desa di dalam UU
No. 32 Tahun 2004 kemudian ditindaklanjuti oleh PP No. 72 Tahun 2005 tentang
Desa. Dalam hal kewenangan secara prinsipil tidak ada perubahan yang mendasar
dalam pengaturan mengenai kewenangan desa. Sama halnya dengan UU No. 22 Tahun
1999, desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang
diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten, yang
dinyatakan secara tegas di dalam Pasal 7 PP No. 72 Tahun 2005 bahwa urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan desa mencakup:
a.
urusan
pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa;
b.
urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan
pengaturannya kepada desa;
c.
tugas pembantuan
dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah
d.
urusan
pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan diserahkan kepada
desa.
Perubahan
mendasar tampak dalam aspek sistem pemerintahan baik pemerintahan desa maupun
dengan hubungannya dengan supra desa. Menurut UU No. 32 Tahun 2004,
Pemerintahan Desa terdiri dari Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa
(BPD). Kepala Desa mempunyai kewajiban untuk memberikan laporan penyelenggaraan
pemerintahan desa kepada Bupati/Walikota, memberikan laporan keterangan
pertanggungjawaban kepada BPD, serta menginformasikan laporan penyelenggaraan
pemerintahan desa kepada masyarakat. Untuk meningkatkan pelayanan di dalam UU
No. 32 Tahun 2004 ditegaskan bahwa sekretaris desa akan diisi oleh Pegawai
Negeri Sipil (PNS).
Di
dalam UU No. 32 Tahun 2004, Camat diberikan peranan yang tegas dalam kaitan
dengan penyelenggaraan pemerintahan desa. Menurut ketentuan dalam Pasal 126
ayat (3) huruf a camat memiliki kewenangan untuk membina penyelenggaraan
pemerintahan desa. Yang dimaksud dengan membina pada ketentuan ini adalah dalam
bentuk fasilitasi pembuatan Peraturan Desa dan terwujudnya administrasi tata
pemerintahan desa yang baik.
Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, bertransformasi menjadi UU No. 6
tahun 2014 tentang Desa yang diundangkan pada 15 Januari 2014. UU No. 6
mengetur lebih kompleks lagi mengenai penyelenggaraan pemerintahan desa.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Otonomi desa merupakan otonomi asli,
bulat, dan utuh serta bukan merupakan pemberian dari pemerintah. Otonomi yang
dimiliki oleh desa adalah berdasarkan asal-usul dan adat istiadatnya, bukan
berdasarkan penyerahan wewenang dari Pemerintah. Pelaksanaan hak, wewenang dan
kebebasan otonomi desa menuntut tanggungjawab untuk memelihara integritas,
persatuan dan kesatuan bangsa dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia
dan tanggungjawab untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang dilaksanakan dalam
koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pemerintahan Desa Adalah penyelenggaraan urusan
pemerintahan oleh Pemerintahan Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dalam
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan
adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dari
kelima era memang pada masa era reformasilah Desa diberi wewenang yang lebih
luas dalam mengurus rumah tangganya. Hal ini disebabkan juga karena pikiran
masyarakat sudah terbuka seiring dengan demokrasi yang menggema, hingga
menimbulakn tuntutan-tuntutan yang dianggap perlu untuk kemajuan desa. Jika
diliaht dari penjabaran mengenai sejarah pemerintahan desa diatas. Pada era
Kolonial Belanda, desa atau nama lain dibolehkan berkembang dengan adat
istiadat dan hak asal-usulnya srta mengurus rumah tangganya sendiri dengan
tetap memperhatikan hokum Belanda.
Namun,
ketika era jepang otonomi desa dibatasi dan desa dianggap sebagai basis
logistic perang untuk mempersiapakan keprluan pertahanan militer Jepang. Pasca
kemrdekaan. Masa orla, desa kembali diberikan hak asal usulnya dan penyebutan
nana desa tidak diseragamkan tidak seperti halnya masa pemerintahan Jepang.
Peraturan
mengenai pemerintahan desa pada orde baru mengalami perubahan seiring dengan
diberlakukannya UU No. 5 Tahun 1979, desa dipandang sebagai satuan wilayah
administrative dibawah camat. Desa memamng diberikan hak otonomi namun bukan
hak otonom asli. Pada masa reformasi hak otonomi desa yang menyangkut hak adat
istiadat dan asal usul kembali diberikan. Dan penyebutan nama desa tidak
seragam.
Dengan
munculnya UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa, desa pada masa ini lebih memiliki
karakter dan kekuatan hukum untuk menjalankan urusan rumah tangganya sendiri,
untuk mengurus kekayaan alam yang ada di desanya. Begitu pula dengan desa adat
bisa memberlakukan adaatnya namun harus sesuai dengan prinsip dan tidak
mengganggu kedaulatan NKRI. Sehingga secara tidak langsung, negara masi
membatasi eksistensi hukum adat yang ada dalam desa adat. Namun, desa atau desa
adat adalah merupakan bagian dari NKRI hingga memang perlu untuk taat dan patuh
pada hukum negara.
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Drs. HAW Widjaja.2004.Otonomi Desa Merupakan Otonomi yang Asli,
Bulat dan Utuh.Jakarta:PT RajaGrafindo Persada.
Sutardjo, Kartohadikusumo.1988.Desa.Penerbit:kanisius. Yogyakarta.
Ateng Syafrudin,Suprin Na’a.2010.Republik Desa Pergulatan HukumTradisonal dan
Hukum Modern dalam Desain Otonomi Desa.Bandung: PT Alumni.
http://agunkzz-thea.blogspot.com/2009/02/pengertian-pemerintahan-desa.html (diakses: 16 April 2015)
https://akbarpbryan.wordpress.com/2015/01/07/pengertian-pemerintahan-desa-dan-sejarah-perkembangan-desa/ (diakses: 16 April 2015)
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014
tentang Desa